Liputan6

Diterbitkan 27 Nov 2011, 17:08 WIB

Entah apa yang ada di benak para petinggi PSSI ketika para pengurus provinsi (Pengprov) menyampaikan dua rekomendasi berisi keperihatinan akan roda organisasi saat ini.

Rekomendasi ini disampaikan langsung kepada PSSI sebagai bentuk  sikap yang sangat serius dalam mencermati kinerja PSSI yang selama ini dibaca di media.

Dua rekomendasi tersebut adalah, pertama, mendesak pengurus PSSI Pusat di bawah kepemimpinan Djohar Arifin Husin agar menjalankan organisasi PSSI sesuai dengan Statuta PSSI dan melaksanakan keputusan Kongres Bali pada Januari 2012. Kedua, segera melaksanakan Kongres Tahunan PSSI selambat-lambatnya 20 Januari 2012.

Meski disebut rekomendasi namun itu bisa dibilang merupakan tamparan tersendiri bagi pengurus PSSI. Para Pengprov itu bukan hanya organ dalam struktur organisasi semata tapi mereka merupakan pemilik suara yang tak bisa disepelekan karena terdiri dari 33 suara. Mereka pula yang turut memilih pengurus sekarang ini dalam Kongres PSSI di Solo, 9 Juli lalu.

Diingatkannya pengurus PSSI untuk taat pada Statuta tentu juga menjadi sesuatu yang mestinya bisa bikin kuping dan wajah memerah. Soal taat Statuta ini sudah diatur dalam Statuta itu sendiri, tepatnya di Pasal 4 tentang organisasi yang bertujuan (ayat e): Mencegah segala pelanggaran Statuta, peraturan-peraturan, instruksi dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan FIFA,AFC, AFF dan PSSI serta Peraturan Permainan dan memastikan bahwa semua peraturan trsebut dipatuhi oleh seluruh anggotanya.

Rekomendasi seperti itu sebenarnya tak perlu terjadi Pengurus PSSI mau mengadakan dialog dengan para anggotanya. Namun sepertinya langkah pembabatan terhadap semua yang berbau orde lama (baca : produk Nurdin Halid) atau sering disebut yang berbau Nirwan D.Bakrie lebih diutamakan saat Pengurus di bawah kepemimpinan Djohar Arifin ini mulai menikmati kekuasaannya. Pemecatan Alfred Riedl sebagai pelatih timnas merupakan langkah awal yang kemudian diikuti dengan lahirnya keputusan atau langkah yang tak lagi peduli Statuta, apalagi etika.

Keputusan-keputusan yang jadi blunder itu terus disajikan sehingga menimbulkan tanda tanya besar, tak hanya pada masyarakat dan pers, tapi juga anggota PSSI sendiri yang punya hak suara dan telah memilih mereka. Entah apakah ada penyesalan karena telah memilih mereka, dan konon pemberian suara ini diiringi kucuran dana yang besar, ataukah muncul kesadaran untuk menegakkan Statuta agar PSSI benar-benar melakukan reformasi yang tak sekedar teriakan-teriakan dalam demonstrasi atau diskusi.

Kini di depan mata rakyat persoalan makin meruncing dan ruwet dengan adanya dua kompetisi yaitu Indonesian Premier League (IPL) dan Indonesia Super League (ISL) yang siap digelar. Suatu kondisi yang tak beda dengan kejadian yang belum setahun lalu terjadi ketika Arifin Panigoro, yang oleh pengurus PSSI sekarang disebut Dewan Syuro atau Pengayom menggulirkan Liga Primer Indonesia (LPI) di Solo, Januari 2011 lalu. LPI ini menjadi barang haram bagi PSSI yang dipimpin Nurdin Halid, karena tak boleh ada kompetisi lain di luar kendali PSSI seperti diatur dalam Statuta FIFA dan Statuta PSSI.

Sikap Pemerintah

Saat itu LPI bisa menggulirkan kompetisi karena mendapat dukungan dari Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI). Menpora Andi Malarangeng di depan Komisi X DPR mengatakan, dasar pemerintah bersikap adalah ketentuan perundang-undang dan ketentuan lain dibawah UU. Keberadaan LPI dapat ditelusuri dari UU No. 3/2005 tentang Keolahragaan.

Saat ini dengan adanya ISL, jika pemerintah turut menolak keberadaannya, termasuk meminta Polri tidak mengeluarkan ijin pertandingan, maka dukungan terhadap LPI di awal tahun 2011 jelas merupakan keberpihakan yang kental nilai politisnya.

Para peserta ISL 2011-12 sendiri memiliki posisi yang jauh lebih kuat dibanding peserta LPI, karena mereka memang berhak jadi peserta ISL dan juga merupakan anggota PSSI. Bandingkan dengan peserta LPI yang jelas merupakan klub bentukan sebuah konsorsium plus klub-klub yang dipecat dalam Kongres PSSI. Apakah dasar penggunaaan dana APBD masih laku dijual secara politis saat ini, tentu tidak karena peserta ISL mendapat sokongan dari PT Liga Indonesia dan mencari dana sendiri.

Sementara PSSI bersandar pada ketentuan Statuta tentang hak organisasi untuk menyelenggaraan kompetesi, peserta ISL juga bersandar pada hal yang sama serta keputusan Kongres PSSI di Bali Januari 2011.  Tiket gratis bagi 6 tim yang diberikan oleh PSSI makin menguatkan peserta ISL untuk tak mundur dari langkahnya mengadakan kompetisi di bawah PT Liga Indonesia.  

Keputusan yang juga membuat geleng-geleng kepala dari semua pelaku sepak bola, masyarakat dan supporter karena tak ada di dunia klub yang bisa lompat begitu saja ke level tertinggi suatu kompetisi tanpa perjuangan.

Lewat rekomendasi dari para Pengprov tersebut, yang bisa jadi akan diikuti oleh klub-klub, PSSI dan Pemerintah tentu tak bisa lagi berdiam diri untuk berbenah. Bila tidak, Kongres Tahunan yang sifatnya biasa akan menjadi luar biasa alias KOngres Luar Biasa (KLB).

 Apakah PSSI sudah tertutup hatinya untuk melakukan perbaikan ketimbang nafsu balas dendam yang tak berujung nantinya, dan pemerintah juga pura-pura tidak tahu di tengah kasus korupsi yang makin menggurita atau kesejahteraan rakyat yang tak juga meningkat?.

Apakah, seperti pepatah Perancis l’histoire se répète, yang berarti sejarah akan berulang, rakyat akan mendapat sajina lagi Kongres demi Kongres, pertikaian demi pertikaian, balas dendam berujung balas dendam?.

Semua berpulang pada nurani semua, terutama mereka yang menamakan dirinya pelaku sepakbola, pengurus PSSI, Pengayom, Dewan Syuro, pemilik klub dan Pengurus Provinsi yang menjelang jatuhnya Nurdin Halid berkoar bahwa merekalah penentu. Rakyat, supporter dan semua yang mencintai sepakbola sudah muak dengan segala retorika bernama reformasi atau revolusi jika hasilnya mengulangi sejarah kembali.

Penulis adalah Penyair dan pengamat sepakbola

Sumber : https://www.liputan6.com/news/read/364823/ketika-anggota-ingatkan-statuta