Di panggung yang terlihat tidak terlalu luas, tiga perempuan
dan tiga laki-laki menyajikan musik yang didominasi siter (alat musik Jawa).
Siter itu dimainkan oleh tiga perempuan itu, dengan kebaya yang menambah
kecantikannya dan satu lagi, lelaki dengan blangkonnya. Dua pemain lainnya
memainkan kendang dan bass.
Ya siter, alat musik yang hampir punah karena bisa dihitung
dengan jari para pemainnya. Alat musik yang seperti halnya gamelan, rebab atau
bonang yang makin ditinggalkan oleh generasi muda. Warisan budaya yang makin
terlupakan, senyap dalam kemajuan jaman yang pengap. Anak-anak muda yang lebih
memuja boy band Korea, penyanyi atau grup yang kadang tampil sebentar lalu
tenggelam.
Kesenyapan yang menimbulkan kegelisahan dari mereka yang
berpuluh tahun mencoba mempertahankan eksistensi siter. Sangat minimnya minat
anak muda untuk mencoba menekuni siter membuat para maestro di beberapa daerah
di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta misalnya merasa prihatin.
Sebuah media pernah menulis, edisi 16 Februari 2017, di
Kebumen, Jawa Tengah tinggal Sutirah, perempuan yang memasuki usia senja yang
masih berprofesi sebagai pesinden siteran. Dalam upaya menghidupkan siteran,
perempuan renta itu melakukannya hanya dengan cara ngamen dari satu tempat ke
tempat lainnya untuk menopang ekonomi keluarganya..
Kegelisahan untuk meneruskan kesenian siter juga disampaikan
oleh Rukini, maestro siter dari Bojonegoro, Jawa Timur. Para pemain yang ada,
termasuk dirinya, sudah tak sebugar dulu. Ditambah lagi tak ada yang tertarik
memainkan musik tradisional itu. "Orang-orang bingung, siapa yang main
siter setelah ini," tutur Rukini yang sudah menetap di Bojonegoro sejak
1980-an itu.
Ketiga perempuan itu tergabung dalam Siter Sister (SS), kelompok yang memainkan siter dan
membawakan lagu-lagu tradisional, pop hingga campur sari. Mereka adalah Krizma,
Lukita, dan Feryna (yang merangkap sebagai penyanyi).
Saat tampil SS menghadirkan Ari Tejo yang bermain siter,
Yoyok (kendang) dan Aam (bass). Maka di poster atau promosi lainnya selalu
tertera "Siter Sister & Friends". Penampilan mereka tampak padu,
suara siter, vokal Feryna, kendang dan bass menghadirkan alunan lagu yang
melenakan, kadang juga membuat penonton ikut bergoyang.
Seperti saat diundang untuk tampil dalam pembukaan pameran
lukisan karya Hani Santana di Museum Affandi, Yogyakarta pada 5 November 2021
lalu. Meski hanya membawakan beberapa lagu, penampilan SS mengundang decak
kagum. Banyak yang tak menyangka siter dimainkan oleh tiga perempuan cantik dan
menghasilkan nada-nada yang membuai pendengarnya.
Meski mereka merasa belum sampai pada titik untuk disebut
sebagai penerus para maestro itu. namun kemunculannya membersitkan harapan akan
terus hidupnya siter. Tentu hal itu tak hanya jadi "tugas" ketiga ibu
rumah tangga itu, tapi juga perempuan lainnya.
Krizma, yang juga merangkap manajer SS, menuturkan lahirnya
SS bukan merupakan sesuatu yang direncanakan. Masing-masing yang sudah berteman
cukup lama lalu belajar sendiri, sampai merasa makin mencintai siter yang
mempunya 11 dan 13 pasang senar itu. Hingga bertemu Ari Tejo, yang menjadi guru
mereka dan tetap mendampingi saat SS tampil di panggung.
Kuku Patah
Awalnya, belajar secara bertahap dari siter peking
(bentuknya kecil, jauh lebih murah) yang terbuat dari kayu standar. Setelah
belajar sekian lamanya, mereka melihat adanya perbedaan cukup besar antara
siter peking dengan yang dimiliki sang guru. Terutama adanya suara bass yang
membuat bisa masuk ke lagu-lagu genre lain.
Belum lagi, tambahnya, kayunya yang bagus, dengan seni ukir
tinggi dan memiliki kaki sebagai penyanggah siter menjadi pesona tersendiri.
Sebuah kerajinan tangan yang bagus dan berkualitas. Sedangkan siter peking
tidak memiliki kaki, jadi saat berlatih kotak kayu tempat penyimpanan alat
musik itu yang jadi kakinya.
"Semua itu merupakan perjuangan yang tidak mudah.
Sebagai ibu rumah tangga dengan uang dapur yang terbatas, harus menyisihkan
untuk membeli sitar besar yang indah itu. Dari beberapa penampilan, honor yang
didapat bisa dikumpulkan untuk membeli siter besar. Akhirnya impian itu
terwujud,"tutur Krizma yang mendapat anggukan dari Feryna dan Lukita.
Ditambah lagi penyesuaian jemari lentik yang berbeda dengan
lelaki sudah merupakan kendala tersendiri bagi mereka. Jempol merupakan alat
utama untuk menghasilkan denting nada-nada yang diinginkan. Mereka sering
terpeleset karena jemari terlalu dalam saat memetik senar. Maka soal kuku patah
bukan merupakan hal yang aneh.
Siter memiliki 11 dan 13 pasang senar, dan direntangkan di
antara kotak resonantor. Senar siter dimainkan dengan ibu jari, sedangkan jari
lain digunakan untuk menahan getaran ketika senar lain dipetik, ini biasanya
merupakan ciri khas instrumen gamelan.
Namun, meski sudah belajar dari siter peking untuk menguasai
nada dari senar siter, namun tetap membutuhkan adaptasi tersendiri ketika
beralih ke alat musik yang lebih besar. Ini tak lepas dari bentuk tangan
perempuan yang kecil, yang harus disiasati agar bisa menghasilkan bunyi yang
lebih enak dan empuk untuk musik-musik non tradisional.
"Ditambah lagi telinga kita terbiasa dengan nada-nada
diatonik (do re mi), tapi nada di siter itu pentatonik. Bagi yang terbiasa
mendengarkan lagu-lagu Jawa atau Sunda, mungkin tak asing. Bagi yang jarang
mendengarkannya, penyesuaiannya cukup sulit dan lama,"jelas Krizma.
Apa yang dikatakan Krizma tentang nada pentatonik itu
diiyakan oleh Yoyok, lelaki yang piawai memainkan kendang. Sejak kecil ia sudah
terbiasa dengan suara dari gamelan, rebab atau bonang.
Kesulitan serupa juga dialami Feryna yang jadi penyanyi. Ia
sendiri memang suka menyanyi, pernah tampil di tv lokal atau beberapa acara di
Jakarta, Yogyakarta, Magelang dan lainnya.
Membawakan lagu sambil bermain siter bukan perkara mudah.
Apalagi lagu Jawa yang dibawakan, baik yang tradisional maupun modern punya
cengkok tersendiri.
"Ini tantangan tersendiri bagi saya, meski memang sulit
sekali menyanyi sambil bermain sitar. Tantangan yang menarik, menghafalkan
puluhan langgam jawa, lagu pop, rock dan campursari juga merupakan keasyikan
tersendiri,"tutur penggemar Celine Dion dan Didi Kempot itu.
Menjadi penyanyi di SS juga memicu Feryna, perempuan lulusan
UGM itu untuk menambah kualitas vokalnya. Berbagai lagu yang dipelajarinya
membutuhkan ekplorasi kemampuan yang dirasa masih kurang.
Sedangkan bagi Lukita, saat semakin dalam mencintai siter
seperti menemukan oase tersendiri dari nada-nada yang dihasilkan lewat
dawai-dawainya. Ditambah lagi dengan keguyuban yang ada dalam SS and Friends.
"Saya bersama Feryna dan Krizma banyak belajar dari
siter, makin terasah kemampuan dengan hadirnya mas Ari Tejo, Yoyok dan Aam yang
secara langsung dan tidak langsung berbagi pengalaman. Menikmati dan terus
belajar siter adalah hal yang menakjubkan,'komentar Lukita.
Di tengah proses meningkatkan kemampuan, di sela kesibukan
berlatih dan tawaran untuk manggung, termasuk setiap hari Rabu tampil di Kafe
Cengkir, Sleman, SS tak melupakan kodratnya sebagai perempuan dan ibu.
Bersiter bagi Feryna, Krizma dan Lukita pada hakekatnya
bagai memintal helai kehidupan, yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.
***
0 Comments