WAIYA : Bukan Sekadar Berkumpul dan Bernostalgia

 

Taman WAIYA, sumbangan dari WAIYA 81 untuk FH Universitas Brawijaya pada 2016 (Foto : Dok. WAIYA 81)

Komunitas atau paguyuban dari alumni sebuah fakultas merupakan wadah yang dibentuk untuk menjaga silaturahmi, memperkuat jejaring profesional, serta memberikan kontribusi nyata bagi almamater dan masyarakat.

Di Indonesia, paguyuban alumni fakultas hadir hampir di seluruh perguruan tinggi besar maupun kecil, baik negeri maupun swasta. Mulai dari tingkat fakultas hukum, ekonomi, teknik, kedokteran, hingga ilmu sosial, semua memiliki komunitas alumni yang berfungsi sebagai pengikat lintas generasi.

Keberadaan komunitas ini semakin penting di tengah persaingan global, di mana jejaring (networking) bisa menjadi modal sosial yang sangat berharga.

Paguyuban ini terbentuk karena kesadaran bahwa perjalanan panjang para alumni—yang kini berkarier di berbagai bidang seperti hukum, pemerintahan, bisnis, dan pendidikan—perlu diikat dalam sebuah wadah yang rapi dan berkelanjutan.

Dalam perkembangannya, komunitas itu bukanlah sekadar wadah nostalgia atau ajang reuni, melainkan ruang kebersamaan yang mampu melahirkan jejaring, gagasan, dan aksi nyata bagi almamater maupun masyarakat.

Di antara sekian banyak komunitas alumni di Indonesia, salah satu yang menarik perhatian adalah WAIYA, sebuah wadah bagi alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya angkatan 1981(FH UB 1981).

Reuni terakhir di Malang (Foto : Dok.WAIYA)


WAIYA sering dianggap sebagai nama yang unik. Banyak yang penasaran dan menafsirkan apa makna nama itu.

Ada yang menganggap nama WAIYA kemungkinan besar diambil sebagai singkatan atau sebutan khas yang lahir dari kebersamaan angkatan 1981 FH UB. Hal ini mengacu banyaknya komunitas alumni yang menciptakan istilah atau jargon unik sebagai penanda identitas, sehingga mudah dikenali dan melekat di antara anggotanya.

Selain itu ada yang menduga nama WAIYA dipilih karena terdengar ringan, mudah diucapkan, dan punya nuansa akrab. Hal ini sesuai dengan semangat komunitas alumni yang lebih menekankan pada rasa persaudaraan, kebersamaan, dan nostalgia, ketimbang formalitas.

Ada kemungkinan lain, WAIYA dipilih karena memiliki makna khusus yang dikenal oleh para anggota angkatan 1981. Bisa jadi kata ini lahir dari pengalaman bersama, humor internal, atau istilah populer saat mereka kuliah dulu. Nama tersebut akhirnya menjadi simbol perjalanan panjang, sekaligus pengikat emosional yang kuat.

Menurut Hero Samudra, salah satu pencetus komunitas itu, nama WAIYA diambil dari sebuah lagu ciptaan Cak Cholik, senior Angkatan 1975.

“Lagu itu sering dinyanyikan saat berlangsung Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) alumni FH Universitas Brawijaya tahun 1981. Seakan menjadi lagu wajib dan nama kebanggaan bagi alumni Angkatan 1981,” ujar Hero yang mantan Ketua Ikatan Alumni FH UB periode 2009 hingga 2023.

Pembentukan WAIYA sendiri pertama kali dicetuskan oleh beberapa alumni FH UB Angkatan 1981 di hotel Le Meridien Jakarta pada 1995. Mereka antara lain Hero Samudra,Zaenal Abidin,Sukarnyo,Fitrah,Puguh Waluyo dan Ginung.

Awalnya WAIYA sekedar ingin berbagi dan menolong alumni FH UB  angkatan 1981yg kurang beruntung dalam perjalanan hidupnya, dan sedang menghadapi musibah.

 Identitas Tersendiri

Dengan nama khas seperti WAIYA, alumni FH UB angkatan 1981 punya identitas tersendiri yang membedakan mereka dari angkatan lain, sekaligus memberi warna dalam jaringan besar alumni Universitas Brawijaya.

WAIYA juga memiliki keunikan karena dibangun oleh angkatan yang sudah matang dengan pengalaman hidup dan profesional. Hal ini menjadikan setiap pertemuan bukan hanya ajang bernostalgia, melainkan juga forum berbagi pengalaman, refleksi, dan pembelajaran lintas bidang.

Di dalamnya terhimpun para praktisi hukum, akademisi, birokrat, hingga wirausahawan yang memiliki satu benang merah: kecintaan terhadap Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Dari kecintaan itu lahir kepedulian untuk terus berkontribusi, baik kepada almamater maupun kepada masyarakat luas.

“Sudah semestinya alumni FH UB 1981 memberikan kontribusi juga kepada almamaternya. Kontribusi itu tak mesti berupa uang, tapi pengetahuan, praktek hukum atau berbagai tips yang pasti bermanfaat bagi generasi penerusnya,” cetus Sumali, salah satu anggota WAIYA yang pernah menjadi Hakim Tipikor di Bali. Kini Sumali menjadi dosen di FH Universitas Muhamadiyah Malang.

Kehadiran WAIYA bukan hanya menjadi bukti eratnya ikatan emosional para alumninya setelah lebih dari empat dekade meninggalkan bangku kuliah, tetapi juga menunjukkan bagaimana persaudaraan intelektual dapat bertransformasi menjadi kekuatan sosial yang membawa manfaat lebih luas.

“Persaudaraan harus tetap dijaga. Spirit ini perlu diwariskan kepada anak cucu kita, agar tak padam meski usia makin menua, beberapa teman juga sudah tiada. Seduluran ini penting,” kata Wahyuningsih yang sering ikut berbagai acara WAIYA.

Komunitas alumni seperti WAIYA memperlihatkan bahwa hubungan antar individu yang terjalin di kampus dapat tumbuh semakin kokoh seiring waktu. Ikatan tersebut tidak lagi terbatas pada pengalaman akademik semata, tetapi berkembang menjadi jaringan yang memberi dukungan dalam karier, kehidupan sosial, hingga kepedulian terhadap isu-isu kebangsaan.

Dari lingkup sederhana, seperti menjaga silaturahmi, hingga gagasan besar, seperti kontribusi pemikiran hukum bagi bangsa, komunitas ini menunjukkan wajah baru alumni sebagai agen perubahan.

 WAIYA Care

Menariknya, perkembangan WAIYA juga sejalan dengan tren komunitas alumni di berbagai perguruan tinggi yang semakin profesional dan terorganisir. Jika dahulu alumni hanya berkumpul saat ada acara perayaan tertentu, kini komunitas alumni seperti WAIYA merancang kegiatan berkelanjutan, mulai dari bakti sosial, penguatan jejaring profesi, hingga program mentoring bagi mahasiswa.

Meski begitu, WAIYA sendiri tidak memiliki struktur seperti laiknya organisasi lainnya. Organisasinya cair, tidak ada pemimpin seperti ketua atau sebutan hirarki kepengurusan. Semuanya memiliki posisi yang sama yakni alumni FH UB 1981.

“Jika ada suatu kegiatan, baru dibentuk Panitia Ad-hoc,” tutur Sukarnyo yang dikenal sebagai Bendahara WAIYA Care, yang merupakan bagian dari WAIYA dan dibentuk untuk membantu sesama anggota.

“Kita tahu, perjalanan hidup seseorang tidak selalu mulus dan lancar seperti lainnya. WAIAY Care mengumpulkan dana untuk membantu anggota yang mengalami kesulitan hidup, semisal untuk berobat atau meringankan beban saat ada yang mengalami musibah,” tambahnya.

Bantuan itu diputuskan oleh Tim Pertimbangan yang memiliki beberapa anggota yakni Anshorul, Rachmat Syaffat, Hero Samudra, Esti, Wenda, Sukarnyo dan Zaenal Abidin.    

WAIYA sendiri tidak hanya mengadakan reuni, tapi juga acara kumpul-kumpul untuk saling berinteraksi dengan teman dan keluarganya. Misalnya jalan-jalan, bernostalgia, menikmati pemandangan dan suasana baru.

Selain itu, tidak jarang, para alumni juga memberikan kuliah umum, seminar, maupun mentoring untuk mahasiswa, sebagai bentuk transfer pengetahuan dan pengalaman dari generasi yang telah lebih dulu berkiprah di dunia profesional.

Kegiatan-kegiatan tersebut membuktikan bahwa WAIYA bukan sekadar perkumpulan nostalgia, melainkan wadah aktualisasi peran sosial alumni. Melalui jejaring yang luas, komunitas ini mampu menjadi jembatan antara dunia kampus dengan realitas praktik hukum dan kehidupan bermasyarakat. Dengan begitu, keberadaan mereka tidak hanya dirasakan oleh sesama alumni, tetapi juga memberi manfaat nyata bagi publik yang lebih luas.

Menua

Namun demikian, perjalanan sebuah komunitas alumni tentu tidak lepas dari tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah menjaga keberlanjutan dan relevansi organisasi di tengah kesibukan para anggotanya yang tersebar di berbagai daerah bahkan luar negeri.

Selain itu, regenerasi kepengurusan dan adaptasi terhadap perkembangan teknologi komunikasi juga menjadi faktor penting agar organisasi tetap hidup dan dinamis. Jika tantangan ini dapat diatasi, WAIYA berpotensi terus menjadi teladan bagi komunitas alumni lainnya dalam membangun sinergi positif antara kebersamaan, keilmuan, dan pengabdian sosial.

Hero Samudra juga mengakui kendala yang ada dalam kiprah WAIYA. Usia anggotanya yang semakin menua, kesibukan pekerjaan sehari-hari dan jarak yang jauh serta sempitnya waktu adalah hal yang sering terjadi.

“Awalnya alumni FH UB Angkatan 1981 sebanyak 224 orang,sekarang yang aktif ikut reuni sekitar 50 sampai 75 orang. Kalaupun lebih dari 75 orang karena ada alumni yang selalu bawa pasangannya,” tambah Hero sambil tersenyum.

Dengan adanya contoh seperti WAIYA, terlihat bahwa komunitas alumni fakultas bukan hanya nostalgia, tetapi juga bisa menjadi wadah profesional, sosial, dan pengabdian.

Kehadiran WAIYA menunjukkan bahwa paguyuban alumni bukan sekadar nostalgia, tetapi bisa menjadi wadah solidaritas lintas profesi, inspirasi bagi angkatan lain di FH UB dan fakultas lainnya. Selain itu juga menjadi sarana kontribusi nyata untuk masyarakat dan almamater. ***

Post a Comment

0 Comments